KASMIRA, seorang Mama dari Yetti, Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua, di bawah terik matahari, membersihkan gulma di antara pohon sawit yang baru tumbuh. Sebelumnya dia dan warga kampung lainnya berkebun dan meramu. Namun, kini mereka beralih menjadi buruh perusahaan kelapa sawit milik PT Tandan Sawita Papua. Perusahaan ini beroperasi sejak 2008 di Yetti dan menguasai lahan seluas 18.337 hektare.
Di sisi lain, Mama Mariode di Sorong, Papua Barat, hanya bisa menatap hutan adat yang sudah dibabat perusahaan PT. Henrison Inti Persada. Bersama suami dan anak-anaknya, Mama Mariode menanam batas antara wilayah perusahaan dengan hutan terakhir yang mereka miliki. Dia berharap, pemerintah tidak lagi menyerahkan hutan itu untuk perusahaan.
Dua cerita di atas merupakan kisah dalam film dokumenter berjudul “Mama Kasmira Pu Mau dan Mama Mariode”. Kedua film ini diputar di asrama Nabire, Kota Jayapura, Sabtu, 26 Januari 2018. Pemutaran film bertema “Perempuan dan Investasi” dilakukan dalam rangka Hari Perempuan Internasional yang dirayakan tiap 8 Maret.
Hadir sebagai narasumber antara lain, Pendeta Magda Kafiar dari Bidang Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) GKI di Tanah Papua, Wirya Supriyadi dari Jerat Papua dan Aiesh Rumbekwan dari Walhi Papua.
Menurut Pendeta Kafiar, janji-janji kemajuan dipakai pemerintah dan perusahaan untuk mempengaruhi masyarakat adat. Kondisi jalan yang buruk, tanpa penerangan, minimnya layanan kesehatan dan pendidikan, membuat masyarakat adat dilema dan akhirnya memilih menerima kehadiran perusahaan.
Pertemuan membahas pelepasan lahan kepada perusahaan juga tidak melibatkan perempuan. Perempuan biasanya hanya menerima keputusan yang dibuat.
“Rapat di para-para adat semua laki-laki yang duduk. Perempuan hanya bisa lihat jarak jauh, tidak tahu laki-laki dong (mereka) bicara apa,” katanya.
Ketika hutan sudah dibongkar dan janji-janji tidak terwujud, kekecewaan mulai muncul. Tidak jarang mama-mama menjadi sasaran dan menjadi objek kekerasan.
Lebih jauh, mama-mama juga kehilangan sumber makanan untuk keluarga. Ada juga wilayah yang sumbernya tercemar akibat pupuk yang digunakan perusahaan. Untuk perempuan yang bekerja sebagai buruh, mereka juga menghadapi masalah baru. Kondisi kerja yang buruk, upah rendah, dan tanpa kontrak, serta sering tanpa jaminan sosial. Kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual juga terjadi, tapi jarang dilaporkan.
Kondisi yang dialami dua mama dalam film tadi berkaitan erat dengan kondisi ekonomi politik global. Populasi manusia yang terus meningkat membuat kebutuhan akan pangan dan energi juga meningkat.
Negara maju dengan kekuatan modal dan teknologi memanfaatkan negara berkembang seperti Indonesia untuk menanamkan modalnya. Dari hubungan inilah lahir berbagai perjanjian ekonomi dan program-program ekonomi yang gencar dicanangkan pemerintah.
Di Indonesia, setelah lahan di Sumatra dan Kalimantan habis, pemerintah mengandalkan Papua.
“Pemerintah mengeluarkan izin-izin tanpa melihat bahwa ada masyarakat adat yang hidup di sana,” kata Wirya dari Jerat Papua.
Pembukaan hutan dalam skala besar membuat kehidupan masyarakat adat berubah drastis. Hutan yang menyediakan kebutuhan, mulai dari makanan, kesehatan, aksesoris budaya, dan religi hilang. Masyarakat adat dipaksa beradaptasi dengan cara-cara baru. Dalam kondisi ini, perempuan dan anak menjadi pihak yang paling menderita.
Perlu perhatian serius
Melani Kiriho, salah satu peserta mengapresiasi pemutaran film dengan mengangkat masalah perempuan dan investasi. Menurutnya, masalah perempuan yang dibicarakan selama ini masih terbatas pada isu kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Menyuarakan hak perempuan terkait investasi ini memang akan mendapat tantangan terutama dari tokoh-tokoh adat. Namun upaya ini harus terus disebar.
“Gerakan perempuan bukan melawan laki-laki, tapi membangun kesetaraan dan hak yang sama supaya kehidupan menjadi lebih baik,” kata Kiriho.
Sementara Emenuel Gobay dari LBH Papua mengatakan, gerakan apa pun di Papua, tidak hanya menjadi gerakan laki-laki, tapi juga gerakan perempuan.
“Bagaimana cara mendorong agar ada perempuan yang bicara dan ambil kendali gerakan entah untuk bicara hak perempuan maupun hak yang lain,” ujar Gobay.
Berbagai pihak pun diajak untuk menyebarkan informasi tentang perampasan lahan ini, dan melakukan penguatan kapasitas perempuan.
Menghadapi arus investasi yang terus masuk ke Papua, kemampuan perempuan Papua untuk mengorganisir diri perlu ditingkatkan. Berbagai instrumen hukum, baik di internasional, maupun nasional dan lokal, bisa menjadi dasar untuk melakukan gerakan-gerakan ini.
Data Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Papua menyebutkan, hingga 2017 sudah ada 187 izin industri berbasis lahan, yang dikeluarkan pemerintah di Papua. Dari ratusan izin tersebut, 82 di antaranya izin pertambangan, 75 izin usaha perkebunan kelapa sawit, dan 30 izin di sektor kehutanan.
Sementara itu Aiesh Rumbekwan dari Walhi Papua mengatakan bahwa momentum politik ke depan bisa dipakai untuk memperjuangankan isu ini.
“Saya harap kita memilih kawan-kawan yang produktif memahami isu lingkungan dengan baik mulai level kota provinsi maupun nasional.” (*)
Source: https://www.tabloidjubi.com/
The post Perempuan dan investasi di Tanah Papua appeared first on PAPUA.business.
No comments:
Post a Comment