Jayapura, Jubi – Kerusakan hutan di Indonesia beberapa tahun belakangan cukup parah. Khususnya di daerah Sumatra dan Kalimantan.
Baru-baru ini diketahui, Maybank, salah satu bank raksasa asal Malaysia, ternyata menyalurkan sekitar Rp 34 triliun kepada perusahaan sawit yang diduga terlibat dalam perusakan hutan Indonesia sepanjang 2010-2016.
Riset terbaru berjudul Maybank: The Single Largest Palm Oil Financier menemukan bank yang dikendalikan Malayan Banking Berhad itu menjadi lembaga keuangan terbesar dunia dalam pendanaan sawit, melalui pinjaman dan penjaminan.
Laporan itu diluncurkan oleh Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profundo.
Pembiayaan sawit terbesar sendiri dilakukan di kawasan Asia Tenggara, yakni mencapai 50 persen lebih di antaranya tersebar di Malaysia dan Indonesia.
Laporan itu menyatakan enam perusahaan sawit yang menjadi klien terbesar Maybank, diduga bermasalah dengan operasi bisnisnya di Indonesia. Di antaranya terkait dengan aksi deforestasi, kebakaran hutan, perampasan tanah hingga konflik dengan masyarakat lokal.
Sepanjang 2010-2016, Maybank mengucurkan total dana melalui utang maupun penjaminan kepada 24 perusahaan sawit, termasuk yang beroperasi di Indonesia dan Malaysia. Nilai total dari kedua layanan itu mencapai US$ 3,88 miliar atau sekitar Rp 34 triliun dengan kurs Rp 9.000 pada 2010.
Pinjaman pada periode itu mencapai US$ 1,66 miliar dan US$ 2,21 miliar untuk penjaminan.
Wakil Direktur TuK Indonesia Edi Sutrisno menuturkan sedikitnya enam perusahaan sawit yang menjadi klien terbesar Maybank saat ini. Ini terdiri dari Sime Darby, Felda, Batu Kawan Group, Triputra, Genting dan Salim Group.
“Klien terbesar Maybank diduga terlibat dengan konflik berkaitan dengan deforestasi, kebakaran dalam konsesi mereka, dan konflik dengan warga lokal,” kata Edi dalam peluncuran laporan tersebut, Rabu (28/2/2018).
Dia menuturkan pengembangan kebun sawit di Indonesia diduga telah menghancurkan keanekaragaman hayati. Tak hanya itu, kata Edi, namun juga berimbas pada hilangnya lahan masyarakat adat.
Riset Tuk Indonesia dan Profundo menemukan pendanaan baik utang maupun penjaminan Maybank untuk enam klien terbesarnya sepanjang 2010-2016 adalah Sime Derby (US$ 580 juta); Felda Group (US$ 513 juta); dan Batu Kawan Group (US$ 384 juta).
Lainnya adalah Genting Group (US$205 juta) Triputra Group (US$ 192 juta) dan Salim Group (US$ 109 juta).
Laporan itu menemukan klien terbesar Maybank memiliki persoalan di lapangan yang tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur Kalimantan Selatan, Sumatra Selatan, Papua serta Papua Barat.
“Hal ini dapat menyebabkan Maybank mendapatkan dampak risiko pada reputasi dan pembiayaannya,” kata dia.
Metode penelitian yang dipakai dalam laporan itu adalah mengidentifikasi pelbagai perusahaan sawit di Asia Tenggara dengan sejumlah layanan data finansial. Di antaranya adalah Thomson EIKON, Bloomberg, IJGlobal, TradeFinanceAnalytics hingga laporan publik perusahaan.
Fokus pada keberlanjutan
CEO Maybank Datuk Abdul Farid Alias dalam pernyataan resminya menyatakan pihaknya akan memfokuskan pada persoalan keberlanjutan, terutama berkaitan pada pembiayaan yang bertanggung jawab.
Hal itu berkaitan dengan Environmental, Sustainability and Governance(ESG)-standar yang digunakan investor berkaitan dengan penilaian performa perusahaan tertentu.
Salah satunya adalah membuat bisnis perusahaan yang berdampak pada jejak karbon rendah.
Farid juga menuturkan upaya yang dilakukan oleh Maybank itu berkaitan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) oleh PBB. SDGs merupakan standar global untuk upaya pembangunan berkelanjutan.
“Kami akan lebih mengeksplorasi cara-cara yang lebih efektif untuk menggabungkan SDGs terkoneksi langsung dengan bisnis kami,” kata dia dalam Sustainability Report 2016.
Dia menegaskan keberlanjutan dalam bisnis juga berarti menyeimbangkan antara kebutuhan klien, pemegang saham dan pemangku kepentingan.
Panduan OJK
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Panduan Pembiayaan Kelapa Sawit Berkelanjutan menyatakan Lembaga Jasa Keuangan harus memahami masalah skema rantai pasok kelapa sawit yang kompleks.
Hal itu bertujuan agar pembiayaan dan produk jasa keuangan yang dikeluarkan dapat dilakukan secara berkelanjutan.
OJK menyatakan secara umum dampak yang ditimbulkan dari praktik perkebunan sawit adalah konflik sosial, ekologis, iklim, hingga air bersih. Otoritas itu menyatakan konversi hutan oleh perusahaan perkebunan berkontribusi pada perubahan iklim.
OJK menyatakan konversi hutan gambut tropis sebagai penyerap karbon lebih sangat merusak upaya mitigasi iklim.
“Selain itu, pembakaran hutan untuk membuka lahan perkebunan menjadi sumber utama asap di Asia Tenggara, yang mengancam kesehatan secara serius,” demikian keterangan otoritas tersebut.
OJK menyarankan bank dapat mendorong kliennya untuk menerapkan sertifikasi sawit berkelanjutan macam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) atau Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Di sisi lain, bank juga dapat melihat apakah klien mereka memiliki kebijakan soal lingkungan, sosial dan tata kelola sebelum memberikan pinjaman. (CNN Indonesia)
No comments:
Post a Comment