Jayapura, Jubi – Ketua Komisi I DPR Papua bidang pemerintahan, politik, hukum dan HAM, Ruben Magai mengatakan, pembangkangan yang dilakukan PT Freeport (PTFI) terhadap kebijakan Pemprov Papua akibat kesalahan pejabat negara pada masa lalu.
Menurutnya, salah satu bentuk perlawanan PTFI terhadap Pemprov Papua yakni enggan membayar pajak air permukaan senilai Rp2,5 triliun sesuai putusan Pengadilan Pajak Jakarta, Januari 2017.
Katanya, pihak PTFI justru mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) terkait putusan itu. MA kemudian mengabulkan PK tambang emas dan tembaga yang beroperasi di Mimika itu majelis hakim di tingkat PK menilai putusan Pengadilan Pajak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
“Freeport selalu mengacu pada Kontrak Karya (KK) yang dibuat sejak 1991 dan ditandatangani para pejabat negara pada masa lalu. Padahal sejak hadir di Papua pada 1967 hingga kini, tidak ada sumbangsi besar Freeport untuk orang asli Papua dibandingkan emas yang diproduksi setiap hari,” kata Magai, Senin (23/4/2018).
Ia mengatakan, pemerintah pusat juga terkesan tidak dapat berbuat banyak. Bahkan tidak mendukung upaya Pemprov Papua untuk meningkatkan PAD dari keberadaan Freeport. Justru mematuhi KK, sehingga kewenangan daerah dan orang asli Papua sebagai pemilik tanah, tak dianggap.
“Jelas sekali Freeport selalu melalukan intervensi. Dari beberapa kali pertemuan yang saya ikuti dengan pejabat kementerian, terkesan pemerintah pusat seakan tidak peduli. Freeport juga hanya menghargai Jakarta, bukan orang Papua,” ucapnya.
Ruben menilai, jika memang pemerintah pusat berniat membangun Papua, mestinya mendukung berbagai upaya yang dilakukan Pemprov Papua. Namun seakan pihak Jakarta tidak mendukung pengelolan potensi sumber daya alam di Papua.
Hal yang nyaris senada dikatakan pakar hukum tata negara, Mahfud MD dalam diskusi yang disiarkan langsung salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta, belum lama ini.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, posisi Freeport sulit digoyahkan lantaran perusahaan asal Amerika tersebut memiliki sebuah dokumen hukum. Dalam dokumen itu negara memberikan hak resmi kepada Freeport untuk mengelola. Pemerintah kini tersandera kejahatan masa lalu.
Katanya, dalam KK yang ditandatangani Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) ketika itu serta disetujui DPR, disebutkan meski UU dicabut tapi tidak berlaku untuk Freeport.
“Dokumen UU itu tidak bisa dicabut karena sudah terikat sebelumnya. Masalahnya ada pada landasan hukum yang menyandera. Itu bentuk proses pembuatan hukum yang koruptif dan koluptif,” kata Mahfud MD kala itu.
Ia mengatakan, siapa pun presiden Indonesia tidak akan bisa merebut Freeport, karena ini warisan turun temurun. Jika pemerintah memaksa mengambil alih Freeport, akan berurusan dengan peradilan internasional atau bisa dilaksanakan invasi sepihak. (*)
No comments:
Post a Comment