Jayapura, Jubi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua dan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, mengingatkan tiap bank di indonesia agar hati-hati memberikan pinjaman kepada perusahaan khususnya sawit yang berinvestasi di Papua.
Hal tersebut dikatakan Direktur Eksekutif Daerah Walhi Papua, Aiesh Rumbekwan, ketika jumpa pers di kantor YPMD Kotaraja, Rabu, (29/11/2017), Jayapura, Papua.
“Bank harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, konflik sosial dan pelanggaran HAM di Papua, khususnya di Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, di mana tempat perusahaan sawit beroperasi,” katanya.
Walhi Papua mencatat berbagai konflik yang terjadi di antaranya konflik lahan, konflik sosial, hilangnya sumber kehidupan sebagai penyokong hidup berkelanjutan, pengabaian terhadap lingkungan yang memiliki nilai konservasi tinggi, hak pemilikan hingga pelanggaran HAM telah terjadi di beberapa daerah di Papua.
“Sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Keerom yang dialami masyarakat Suku Manem, yang terdampak dari operasi PT Tandan Sawita Papua anak perusahaan dari PT Rajawali. Jika bank memnberi pinjaman kepada perusahaan seperti itu, terkesan menunjukkan arah kebijakan manajemen perbankan yang tidak sejalan dengan UU Perbankan No.10/1998,”
katanya.
Tambahnya, dalam berbagai kasus maupun konflik masyarakat adat Suku Manem dan PT. TSP, diduga perbankan memberi pinjaman kepada perusahaan hanya lewat komunikasi dengan pemerintah. Perusahaan tidak melakukan verifikasi dengan masyarakat untuk memastikan kepemilikan lahan.
“Bank memberikan pinjaman kepada perusahaan hanya melakukan dengan verifikasi surat kepemilikan lahan, tanpa melihat dan mengetahui proses penyerahannya seperti apa, sehingga terjadi desakan masyarakat pemilik lahan yang merasa lahan mereka dirampas perusahaan.”
“Walhi Papua mengajak perbankan agar memberi efek jera atau uji tuntas dan prinsip kehati-hatian kepada perusahaan sawit (CPO), sebagai bentuk komitmen dan akibat dari pelanggaran korporasi. Dan kami akan mengecek bank yang memberi pinjaman kepada perusahaan sawit yang beroperasi di Papua, yang memberikan dampak buruk terhadap masyarakat pemilik lahan.”
Lanjutnya PT Tandan Sawita Papua telah beroperasi sejak 2010 di Keerom, dan pada 2005-2007 perusahaan melakukan survei dan menjanjikan sesuatu kepada beberapa orang pemilik lahan, tanpa sepengetahuan masyarakat lain (sepihak), namun janji itu belum terpenuhi dan sebagian masyarakat menuntut hak mereka.
“Awalnya 500 hektare lahan diberikan secara sepihak dari Pemda ke perusahaan, dan surat penyerahan atau pelepasan tersebut tidak menghadirkan semua masyarakat adat sebagai pemilik lahan, tapi hanya menyodorkan lembar kertas untuk ditandatangani beberapa pihak, dan sekarang lahan yang dikuasai perusahaan bukan 500 hektare lagi namun sudah mencapai 5 ribu hektare lahan,”
katanya.
Walhi Papua menilai pemerintah, korporasi dan perbankan adalah aktor yang paling bertanggung jawab atas kerusakan hutan dan lingkungan, deforestasi, konflik lahan serta hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat, pelangaran HAM hingga bencana ekologi.
Berbagai masalah yang dialami masyarakat adat pemilik ulayat dengan kehadiran perkebunan kelapa sawit di Papua disikapi Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai, John Gobai.
Ia mengatakan, sejak pertengahan 1980 atau lebih 30 tahun lalu sawit mulai dikembangkan di Papua. Sejak itu juga sawit menghadirkan duka di Papua. Pemerintah dan para investor tak peduli.
“Hanya memikirkan dolar tanpa mempedulikan kerusakan lingkungan dan manusia di sekitar areal perkebunan,” katanya belum lama ini. (*)
No comments:
Post a Comment