Whois/Lookup

Search This Blog

Tuesday, 24 April 2018

Ruben Magai: Freeport membangkang akibat kesalahan masa lalu

Ilustrasi areal pertambangan PT Freeport Indonesia - Jubi/Dok.

Ilustrasi areal pertambangan PT Freeport Indonesia – Jubi/Dok.

Jayapura, Jubi – Ketua Komisi I DPR Papua bidang pemerintahan, politik, hukum dan HAM, Ruben Magai mengatakan, pembangkangan yang dilakukan PT Freeport (PTFI) terhadap kebijakan Pemprov Papua akibat kesalahan pejabat negara pada masa lalu.

Menurutnya, salah satu bentuk perlawanan PTFI terhadap Pemprov Papua yakni enggan membayar pajak air permukaan senilai Rp2,5 triliun sesuai putusan Pengadilan Pajak Jakarta, Januari 2017.

Katanya, pihak PTFI justru mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) terkait putusan itu. MA kemudian mengabulkan PK tambang emas dan tembaga yang beroperasi di Mimika itu majelis hakim di tingkat PK menilai putusan Pengadilan Pajak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

“Freeport selalu mengacu pada Kontrak Karya (KK) yang dibuat sejak 1991 dan ditandatangani para pejabat negara pada masa lalu. Padahal sejak hadir di Papua pada 1967 hingga kini, tidak ada sumbangsi besar Freeport untuk orang asli Papua dibandingkan emas yang diproduksi setiap hari,” kata Magai, Senin (23/4/2018).

Ia mengatakan, pemerintah pusat juga terkesan tidak dapat berbuat banyak. Bahkan tidak mendukung upaya Pemprov Papua untuk meningkatkan PAD dari keberadaan Freeport. Justru mematuhi KK, sehingga kewenangan daerah dan orang asli Papua sebagai pemilik tanah, tak dianggap.

“Jelas sekali Freeport selalu melalukan intervensi. Dari beberapa kali pertemuan yang saya ikuti dengan pejabat kementerian, terkesan pemerintah pusat seakan tidak peduli. Freeport juga hanya menghargai Jakarta, bukan orang Papua,” ucapnya.

Ruben menilai, jika memang pemerintah pusat berniat membangun Papua, mestinya mendukung berbagai upaya yang dilakukan Pemprov Papua. Namun seakan pihak Jakarta tidak mendukung pengelolan potensi sumber daya alam di Papua.

Hal yang nyaris senada dikatakan pakar hukum tata negara, Mahfud MD dalam diskusi yang disiarkan langsung salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta, belum lama ini.

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, posisi Freeport sulit digoyahkan lantaran perusahaan asal Amerika tersebut memiliki sebuah dokumen hukum. Dalam dokumen itu negara memberikan hak resmi kepada Freeport untuk mengelola. Pemerintah kini tersandera kejahatan masa lalu.

Katanya, dalam KK yang ditandatangani Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) ketika itu serta disetujui DPR, disebutkan meski UU dicabut tapi tidak berlaku untuk Freeport.

“Dokumen UU itu tidak bisa dicabut karena sudah terikat sebelumnya. Masalahnya ada pada landasan hukum yang menyandera. Itu bentuk proses pembuatan hukum yang koruptif dan koluptif,” kata Mahfud MD kala itu.

Ia mengatakan, siapa pun presiden Indonesia tidak akan bisa merebut Freeport, karena ini warisan turun temurun. Jika pemerintah memaksa mengambil alih Freeport, akan berurusan dengan peradilan internasional atau bisa dilaksanakan invasi sepihak. (*)

Monday, 23 April 2018

Abel gives IMF and World Bank the lowdown on PNG

Supermarket Inggris Stop Penjualan Produk Sawit, Pengusaha Indonesia Protes

SATUHARAPAN.COM – Pengusaha kelapa sawit Indonesia menggambarkan jaringan supermarket Inggris, Iceland, sebagai “korban kampanye hitam” setelah memutuskan menghentikan produk yang mengandung minyak sawit.

Ilustrasi. Perkebunan kelapa sawit yang membutuhkan banyak lahan dan sering kali menebas hutan tropis dunia untuk ekspansi perkebunan.(Foto: Dok.satuharapan.com/mongabay.co.id/Rhett A. Butler)

Ilustrasi. Perkebunan kelapa sawit yang membutuhkan banyak lahan dan sering kali menebas hutan tropis dunia untuk ekspansi perkebunan.(Foto: Dok.satuharapan.com/mongabay.co.id/Rhett A. Butler)

“Ini barangkali akibat kurang informasi, sekaligus korban kampanye hitam tentang sawit,” kata Kacuk Sumarto, wakil ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), kepada BBC Indonesia, hari Senin (16/4).

Lebih jauh Kacuk mengatakan Iceland mengambil langkah itu mungkin sebagai imbas dari keputusan parlemen Eropa yang menerapkan larangan pemakaian sawit di biodisel pada 2020.

“Jadi sangat disayangkan, keputusan yang mereka ambil berdasarkan informasi yang kurang lengkap . Kami memprotes keras (atas keputusan mereka),” katanya.

Iceland adalah jaringan pasar swalayan pertama di Inggris yang memutuskan tak akan lagi menjual produk yang mengandung minyak sawit.

Direktur Iceland, Richard Walker, mengatakan “tidak ada minyak kelapa sawit yang berkesinambungan”.

“Minyak kelapa sawit bersertifikat saat ini tidak membatasi deforestasi dan tidak membatasi perkebunan minyak kelapa sawit,” katanya kepada BBC.

“Jadi selama belum ada minyak kelapa sawit yang benar-benar berkesinambungan, yang sama sekali bukan dari deforestasi, kami mengatakan tidak kepada minyak kelapa sawit,” kata Walker.

Iceland saat ini telah menghentikan 50 persen produk yang mengandung minyak sawit dan menurut rencana penghentian total penjualan produk yang mengandung minyak sawit akan diterapkan pada akhir 2018.

Direktur Iceland antara lain menyebut industri minyak sawit menyebabkan deforestasi dalam skala masif.

Ia mengatakan dalam waktu yang singkat setelah dia mengumumkan langkah perusahaannya, hutan seluas 12 kali lapangan sepak bola di Indonesia “akan dibakar dan dibuldoser untuk menanam kelapa sawit”.

Menanggapi alasan ini, wakil ketua GAPKI Kacuk Sumarto mengatakan deforestasi yang dituduhkan sejumlah pihak ke Indonesia adalah deforestasi atau pembalakan di hutan-hutan primer.

“Barang kali satu dua ada ya, itu (dilakukan oleh) rakyat. Tapi jumlahnya kan tidak signifikan,” ujar Kacuk. Ia mengatakan industri sawit di Indonesia melakukan foretasi di hutan-hutan bekas HPH sejak akhir 1960-an.

Langkah yang Diskriminatif

Menurut Kacuk langkah Iceland “diskriminatif dan tidak sesuai dengan prinsip perdagangan yang adil (fair trade)”.

“GAPKI siap mengundang Iceland (ke Indonesia) untuk memberikan penjelasan kepada mereka, tentang pengusahaan kelapa sawit Indonesia yang sustainable,” kata Kacuk.

Selain GAPKI, Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) juga menyayangkan keputusan Iceland. Direktur Eksekutif CPOPC, Mahendra Siregar, dalam surat yang dikirimkan kepada Richard Walker menyebut langkah yang diambil Walker “diskriminatif”.

Mahendra mengatakan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh minyak nabati lain seperti minyak bunga matahari dan minyak kedelai jauh lebih besar. Dikatakan pula bahwa sawit adalah minyak nabati paling berkelanjutan.

Total produksi minyak sawit Indonesia pada 2017 mencapai 38 juta ton. Dari angka ini, sekitar 27 juta ton terserap di pasar domestik.

Pasar ekspor terbesar Indonesia adalah India, 27 negara Uni Eropa, dan Cina.

Jumlah ekspor ke Uni Eropa sekitar 5 juta ton. Kacuk mengatakan dari sisi volume, dampak keputusan Iceland tidak terlalu besar. Meski demikian, tetap saja dianggap tidak adil.

Kacuk menduga konteks besar langkah Iceland adalah keinginan agar negara-negara berkembang seperti Indonesia “tidak mengganggu hegemoni pengusaan ekonomi negara-negara besar”. (bbc.com)

Editor : Sotyati